By : dr. Sari Eka Pratiwi
Mekanisme pertahanan sistem imun dengan cara apoptosis, nekrosis dan pyroptotic merupakan mekanisme penting untuk melawan infeksi mikroba. Respon terhadap infeksi bakteri dengan apoptosis, diinduksi oleh respon imun bawaan dari host. Kematian sel ini berperan untuk mengeliminasi pathogen pada awal infeksi tanpa menimbulkan sinyal “alarm”, serta untuk menginduksi sel dendritic (DCs) untuk menelan badan apoptotik yang mengandung mikroba, sehingga antigen ekstrasel dapat mengakses molekul MHC kelas I dan menginduksi respon imun. Kematian sel dapat pula menguntungkan bakteri, salah satunya adalah pada bakteri pathogen yang memerlukan kematian sel host untuk dapat menyebar ke sel yang bersebelahan, menghindari sel imun dan untuk dapat mengambil nutrient. Bakteri pathogen yang menggunakan mekanisme ini terutama pada pathogen yang memiliki kemampuan menginvasi dan memperbanyak diri didalam sel host (Ashida et al., 2011; Casadevall and Pirofski, 2009). Bakteri dapat memicu apoptosis melalui berbagai mekanisme, mencakup sekresi inhibitor protein sintesis, protein pembentuk pori, molekul yang terlibat dalam aktivasi mekanisme kematian endogen sel inang dan super antigen (Dias et al., 2006).
Sel fagosit professional seperti makrofag, memainkan peran penting dalam pengenalan bakteri melalui pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) atau danger-associated molecular patterns (DAMPs) melalui berbagai pathogen recognition receptors (PRRs), yang mencakup Toll-like receptors (TLRs), NOD-like receptors (NLRs), RIG-I-like receptors, C-type lectin receptors, dan absence in melanoma 2 (AIM2)-like receptors. Sensor ini memicu respon imun bawaan dan meningkatkan respon pertahanan antimikroba. Fagosit yang teraktivasi akan mentranspor bakteri kedalam lisosome, tempat dimana bakteri didegradasi. Namun beberapa bakteri seperti Legionella pneumophila, Mycobacterium tuberculosis, Coxiella burnetii, and Brucella spp, memiliki mekanisme untuk memanipulasi prosesn endositosis, merombak vakuola yang mengandung bakteria, memodulasi sinyal kematian sel, dan memperpanjang proses replikasi sehingga bakteri tersebut dapat bertahan dan memperbanyak koloninya. Sel fagosit non-profesional seperti sel epitel juga berperan dalam pertahanan pertama terhadap gangguan mikroba, dengan menggunakan berbagai PRRs untuk mengenali PAMPs dan DAMPs. Sel epitel yang mengenali mikroba, memicu stress oksidatif, stress ER, stress mitokondria, stress DNA, respon peradangan, dan autofagi, serta mengaktifkan pertahanan antimikroba seperti kematian sel dan eksfoliasi sel (Ashida et al., 2011).
Bakteri dapat memanipulasi jalur kematian sel melalui 3 jalur yaitu : mitochondria-dependent pro-death pathway, NF-ĸB–dependent pro-survival pathway, dan inflammasome- dependent cell death pathway (Ashida et al., 2011).
Jalur kematian sel tergantung-mitokondria
Apoptosis dipicu oleh dua mekanisme berbeda yaitu jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik. Jalur ekstrinsik diaktivasi oleh stimulasi reseptor kematian transmembrane (FasL, TNF-R1, dan Apo2/Apo3), dimana reseptor ini mentransmisi sinyal apoptosis eksternal yang menghasilkan aktivasi eksekusioner caspase-3 dan caspase-7. Jalur intrinsik diinisiasi melalui pelepasan faktor sinyaling dari mitokondria. Beberapa stimulus mengaktifkan Bcl-2 homology 3 (BH3) yang merupakan protein yang menghambat protein anti-apoptosis Bcl-2. Aktivasi BH3 ini menyebabkan oligomerisasi protein pro-apoptosis seperti Bax dan Bak pada membrane luar mitokondria, sehingga sitokrom C dilepaskan ke dalam sitoplasma, dan terjadi formasi apoptosome yang mengaktivasi caspase-9 dan menginduksi apoptosis (Ashida et al., 2011)
Gambar 1. Bakteri menginduksi kematian sel inang (Ashida et al., 2011)
L. pneumophilia bereplikasi didalam makrofag alveolar, selama infeksi pathogen akan memperlambat kematian sel host dengan mengirimkan efektor mencakup SdhA dan SidF melalui sistem sekresi tipe IV. SidF mentarget dua faktor pro-apoptosis yaitu BNIP dan Bcl-rambo sehingga menghambat sinyal apoptosis mitokondria. Selain itu, bakteri lain seperti Chlamydia spp menggunakan mekanisme multiple untuk mencegah kematian sel dengan berinteraksi dengan komponen mitokondria yang terlibat dalam mekanisme apoptosis. Chlamydia trachomatis mendegradasi protein pro-apoptosis BH3 yang mencakup Bim, Puma, dan Bad, dan degradasi ini dimediasi oleh chlamydial protease-like activity factor (CPAF). Selanjutnya chlamydia mengaktivasi PI3K yang mengaktivasi Akt dan memfosforilasi protein pro-apoptosis, Bad (Ashida et al., 2011).
Gambar2. Bakteri memanipulasi jalur kematian sel melalui mitokondria (Ashida et al., 2011)
Selain mencegah apoptosis, mekanisme pertahanan beberapa bakteri sebaliknya memodulasi jalur apoptosis sel inang untuk mempertahankan diri. Sebagian bakteri gastrointestinal menggunakan respon kematian sel epithelial dengan mengitervensi jalur kematian sel tergatung-mitokondria dan meningkatkan jalur prosurvival NF-ĸB (Ashida et al., 2011).
Manipulasi jalur NF-ĸB pro-survival oleh pathogen
NF-ĸB merupakan salah satu regulator utama pada respon imun bawaan dan berfungsi mengaktivasi jalur pensinyalan inflamasi sel inang dan jalur pertahanan hidup sel. Banyak bakteri pathogen yang menggunakan berbagai mekanisme untuk memanipulasi jalur pengaturan survival NF-ĸB dengan tujuan memodulasi respon kematian sel inang dan kemudian membantu replikasi dan sifat pathogen dari bakteri. Salah satunya, L. pneumophila menghantarkan efektor T4SS untuk memanipulasi NF-ĸB dan memperlambat kematian sel makrofag. Bakteri lainnya seperti M.tuberculosis menggunakan strategi lainnya pada stadium lanjut infeksi untuk memperbanyak kematian sel makrofag dan memfasilitasi keluarnya bakteria intaselular dan infeksi lanjut pada sel lainnya melalui jalur kasspase tak terkategorisasi yang memperlihatkan gambaran nekrosis (Ashida et al., 2011).
Sementara itu, bakteri lainnya seperti Salmonella menginfeksi mukosa intestinal dengan menggunakan dua metode yang berbeda, yaitu Salmonella pathogenicity island 1 (SPI-1)-dependent pathway dan SPI-2-dependent pathway. Infeksi Salmonella pada usus memicu inflamasi yang diakibatkan oleh efektor melalui T3SS-1 dan T3SS-2 yang dikode oleh SPI-1 dan SPI-2. Pada jalur SPI-1, Salmonela secara langsung menginvasi epitel intestinal dengan menghantarkan molekul efektor berupa SopB, SopE, SopE2 dan SipA melalui T3SS-1, sehingga dihasilkan respon inflamasi akut. Pada jalur SPI-2, Salmonela ditangkap oleh sel dendritic intestinal, dimana dendrit yang memanjang diantara sel epitel secara langsung menelan bakteri dalam lumen usus. Ketika Salmonella telah melewati epitel, bakteri bertemu dengan sel dendritic, makrofag, sel B dan sel T, dan sebagian bakteria dapat memasuki sirkulasi sel inang didalam sel CD18+ sehingga bakteri dapat memasuki nodus limfatikus mesenterika, limpa dan hepar. Infeksi bakteri dapat menginduksi pelepasan TNF dan nitrit oxide oleh sel epitel dan memperlabat terjadinya apoptosis. Efektor Salmonela yaitu AvrA dan SopB memodulasi respon inflamasi dan respon kematian sel. AvrA memiliki aktivitas asetiltransferase untuk MAPKKs dan menghambat jalur persinyalan JNK secara kuat, yang membantu mengurangi respon inflamasi dan kematian sel (Ashida et al., 2011). Mekanisme manipulasi jalur NF-ĸB oleh bakteria telah dirangkum pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Manipulasi bakteria pada jalur pro-survival (Ashida et al., 2011)
Aktivasi Inflammasome melalui pengenalan terhadap infeksi bakteri
Bakteri pathogen menghantarkan toksinnya dan efektor T3SS pada membran sel dan komponen sitoplasma sel inang, dan menginduksi kerusakan membrane, mengganggu signalling sel, dan memodulasi perkembangan infeksi pada sel inang. Bakteri ini dapat mengaktivasi sistem imun bawaan ketika PAMPs dan DAMPS dikenali oleh PRRs sitoplasma seperti NLRs, akibatnya adalah induksi pembentukan inflammosome yang mengandung NLR, ASC dan caspase-1 dan menghasilkan pelepasan IL-1 dan IL-18, menginduksi pyroptosis. Pyroptosis merupakan satu diantara program kematian sel inflamasi yang berkaitan dengan aktivasi caspase-1 dimediasi inflamosome (Ashida et al., 2011).
Sebagian bakteri patogen menggunakan strategi untuk memodulasi kematian sel yang tergantung pada inflammosome, yang sangat penting untuk menghindari kematian sel inang dan pelepasan sitokin inflamasi intraseluler selama infeksi. Sebagai contohnya adalah S.typhimurium menghindari pengenalan NLRC4 dengan menekan ekspresi dari PrgI, yaitu komponen T3SS-1 dan flagellin setelah fagositosis, sehingga menekan ekspresi T3SS-2 dan tidak terdeteksi oleh NLRC4 (Ashida et al., 2011).
Pustaka
Ashida, H., Mimuro, H., Ogawa, M., Kobayashi, T., Sanada, T., Kim, M., Sasakawa, C., 2011. Cell death and infection: A double-edged sword for host and pathogen survival. J. Cell Biol. 195, 931–942. https://doi.org/10.1083/jcb.201108081
Casadevall, A., Pirofski, L.A., 2009. Virulence factors and their mechanisms of action: The view from a damage-response framework. J. Water Health 7, 2–18. https://doi.org/10.2166/wh.2009.036
Dias, W., Silveira, D., Lancellotti, M., Brocchi, M., 2006. Mini-Review Bacteria-Induced Apoptosis: an Approach To Bacterial Pathogenesis. Braz. J. morphol. Sci 23, 75–86.