By dr. Sari Eka Pratiwi
Infeksi bakteri, jamur, virus dan mikobakteri merupakan salah satu komplikasi yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian tertinggi pada pasien immunocompromised yaitu pada penyakit imunodefisiensi primer (Marciano and Holland, 2017) maupun sekunder, dan pasien dengan penyakit autoimun yang diterapi imunosupresan dan atau terapi imunomodulator. Pencegahan untuk penyakit infeksi melalui vaksinasi merupakan cara yang paling efektif dan paling penting. Vaksinasi terhadap polio, campak, mumps, rubella, difteri, hepatitis A dan B, infeksi Haemophilus influenza B, pneumococci atau virus papilloma, dapat melindungi dari penyakit berat dengan kemungkinan komplikasi ke arah kematian terutama pada pasien dengan kondisi immunocompromised (Eibl and Wolf, 2015).
Vaksinasi yang diberikan pada populasi sehat, tidak hanya mencegah penyakit pada orang yang telah divaksinasi, namun juga dapat mencapai “herd immunity” yang dapat memproteksi populasi yang paling lemah khususnya mereka yang rentan terhadap penyakit, terlalu muda atau immunocompromised untuk dapat divaksinasi. Vaksinasi direkomendasikan khususnya untuk pasien dengan status immunocompromised, contohnya pasien dengan imunodefisiensi primer (PID) dan pasien dengan imunodefisiensi sekunder, juga pasien dengan penyakit autoimun (Eibl and Wolf, 2015).
Vaksinasi pada Penyakit Imunodefisiensi Primer
PID merupakan kelompok penyakit heterogen yang disebabkan oleh lebih dari 200 mutasi gen tunggal yang mengakibatkan gangguan sistem imun adaptif dan bawaan (Eibl and Wolf, 2015; Marciano and Holland, 2017; Naik et al., 2016). Mutasi dapat menyebabkan perubahan pada subset sel imun atau pada ekspresi reseptor sel imun atau ligannya, dan/atau ekspresi marker diferensiasinya. Penegakan diagnosis PID mencakup hitung sel leukosit dan penilaian diferensiasi subset limfosit (jumlah sel T dan sel B), pemeriksaan level immunoglobulin serum, subklas IgG, respon antibodi terhadap paparan infeksi atau vaksinasi, aktivasi sel T, pelepasan sitokin, proliferasi dan fungsi efektor (contoh: sitotoksisitas dimediasi-sel). Selanjutnya, komponen sistem imun bawaan juga perlu untuk diperiksa yang mencakup pemeriksaan sistem komplemen (aktivasi melalui jalur klasik, lektin dan alternatif, dan kuantifikasi komponen komplemen individu), pemeriksaan sitotoksisitas yang dimediasi sel NK, serta pemeriksaan jumlah dan fungsi fagosit (Eibl and Wolf, 2015).
Berdasarkan tipe sel dan fungsinya, PID dapat dikelompokkan menjadi : imunodefisiensi kombinasi, imunodefisiensi kombinasi dengan gambaran sindrom yang paling didominasi oleh defisiensi antibodi, penyakit imun disregulasional-kongenital dengan defek pada jumlah fagosit, defek pada imunitas bawaan, gangguan autoinflamasi, dan defisiensi komplemen (Eibl and Wolf, 2015; Wood, 2012). Transplantasi stem sel hematopoiesis (HSCT) merupakan pilihan terapi kuratif untuk defek kombinasi sel T dan sel B berat. Defisiensi antibodi terjadi pada sedikitnya 50% dari semua PID yang simtomatik secara klinik dan kondisi ini memerlukan perhatian khusus terhadap pemberian vaksinasi. Produksi antibodi dapat diukur dengan menguji respon antibodi terhadap paparan infeksi atau riwayat pemberian vaksinasi. Vaksinasi diagnostik dengan killed vaccines merupakan metode yang aman dan penting, dengan tujuan mengenali secara langsung gangguan produksi antibodi untuk memutuskan pemberian terapi lebih dini dibandingkan dengan marker seperti hypogammaglobulinemia dan atau marker diferensiasi sel B. Vaksinasi diagnostik dengan vaksin inaktif dapat pula diberikan sebagai bagian dari penilaian respon imun sebelum memutuskan inisiasi pemberian immunoglobulin sebagai terapi (Eibl and Wolf, 2015).
Infeksi bakterial berulang seperti pneumococcal, Haemophilus influenza B (HiB) dan infeksi stafilokokus sering berakibat letal pada dekade kedua kehidupan, sebelum terapi immunoglobulin ditemukan, dan menjadi penyebab signifikan penyakit paru pada pasien dengan berbagai bentuk klinis yang didominasi oleh sindrom antibodi seperti common variable immunodeficiency (CVID). Vaksinasi dengan vaksin hidup seperti vaksin rotavirus, virus varicella zoster, dan measles mumps rubella (MMR) atau BCG, secara prinsip merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan berat fungsi sistem imun. Tapi pada populasi dengan tidak adanya gangguan atau gangguan minimal pada fungsi sistem imun adaptif atau pasien dengan defek sistem imun bawaan bukanlah merupakan kondisi kontraindikatif pemberian vaksin hidup ini. Vaksin inaktif direkomendasikan untuk populasi umum, dan secara prinsip juga diindikasikan untuk pasien dengan PID. Imunisasi primer harus mengikuti aturan yang sama seperti pada populasi umumnya. (Eibl and Wolf, 2015).
Vaksin hidup akan dapat bermultiplikasi didalam inang dan berinteraksi dengan sel inang dalam prosesnya. Vaksin-vaksin ini walaupun telah dilemahkan, masih memungkinkan menyebabkan gejala yang mirip dengan infeksi akibat agen infeksi penyebab penyakit, tapi derajat gejalanya akan ringan atau minimal pada orang yang imunokompeten. Namun vaksin ini dapat menyebabkan penyakit yang letal pada pasien dengan imunosupresi. Untuk alasan inilah, maka oral polio vaccine (OPV) dan vaksin BCG tidak boleh diberikan pada semua populasi imunodefisiensi. Vaksin hidup lainnya seperti MMR, varicella zoster, rotavirus, dan vaksin influenza hidup yang dilemahkan, tidak boleh diberikan pada semua pasien PID dan SID (penyakit imunodefisiensi sekunder) dengan gangguan berat pada fungsi sistem imun atau high grade immunosuppression. Semua vaksin hidup kontraindikasi pada pasien dengan kelainan imunodefisiensi berat dan pada pasien dengan kadar CD4 < 500 sel/mm3(dewasa), <1000 sel/mm3( usia 1-6 tahun) atau <1500 sel/mm3(usia <1 tahun) (Eibl and Wolf, 2015).
Vaksinasi pada Penyakit Imunodefisiensi Sekunder (SID)
Penyakit imunodefisiensi sekunder (SID) merupakan penyakit akibat berbagai faktor yang mempengaruhi sistem imun, seperti agen infeksi, obat-obatan, penyakit metabolik dan kondisi lingkungan. Pada SID ini, defisiensi imun bermanifestasi diakibatkan terjadinya komplikasi seperti infeksi oportunistik maupun infeksi bakteri lainnya. Individu dengan SID dapat mengalami imunodefisiensi pada stadium yang berbeda tergantung pada penyakit dasarnya. Pasien SID rentan terhadap berbagai tipe patogen yang berbeda, tergantung pada defek imun dasarnya, sebagai contohnya, infeksi virus atau infeksi oportunistik pada penyakit dengan sel T nonfungsional atau tidak adanya sel T dan umumnya infeksi bakteri pada sindrom kegagalan antibodi. Infeksi traktus respiratorius atau gastrointestinal dapat terjadi lebih sering dan dapat mengancam jiwa. Infeksi ini sering terjadi pada bakteri yang kurang patogenik, namun sulit untuk diterapi. Pada populasi SID, pemberian profilaksis jangka panjang dan pendek terhadap infeksi terutama dengan jalan vaksinasi dan kemoprofilaksis antimikroba (Chinen and Shearer, 2010; Eibl and Wolf, 2015) .
Vaksinasi sangat direkomendasikan pada populasi SID untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian, komplikasi yang menyebabkan perlunya perawatan di rumah sakit, dan peningkatan biaya perawatan kesehatan. Hampir semua vaksin yang diberikan pada populasi sehat, juga dianjurkan untuk diberikan pada pasien SID. Namun, indikasi dan kontraindikasi harus dianalisa terlebih dahulu untuk mengambil keputusan pemberian vaksinasi berdasarkan derajat gangguan fungsi imun. Imunosupresi derajat tinggi dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan kemoterapi kanker, periode 2 bulan setelah transplantasi organ, infeksi HIV dengan limfosit T CD4 < 200 sel/mm3 untuk dewasa dan remaja, pasien yang mendapatkan kortikosteroid harian dengan dosis prednison >20 mg (atau >2mg/kg.hari pada pasien dengan berat badan <10kg) selama lebih dari 14 hari, dan mendapatkan imunomodulator biologis tertentu seperti TNF-α bloker atau antibodi monoklonal anti CD-20 (Eibl and Wolf, 2015).
Pasien yang terinfeksi HIV dapat mengalami supresi imun yang berat atau mungkin dalam terapi antiviral dan memiliki gangguan minimal respon imun. Untuk pasien dengan jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3, semua vaksin tidak boleh diberikan. Vaksinasi yang direkomendasikan pada pasien HIV khususnya adalah vaksinasi untuk influenza, infeksi pneumococcal, HiB dan hepatitis B, serta penyakit meningococcal. Imunisasi untuk hepatitis A direkomendasikan untuk pasien dengan infeksi HIV yang memiliki riwayat hepatitis B kronik atau ditemukan terinfeksi hepatitis C, pada pasien dengan pengguna obat suntik atau memiliki kelainan orientasi seksual (laki-laki dengan laki-laki), serta pasien HIV positif yang melakukan perjalanan internasional atau penderita hemophilia. Vaksinasi VZV dan MMR harus dipertimbangkan untuk diberikan, terutama pada anak-anak dengan jumlah sel T CD4 lebih dari 200 sel/uL (dewasa) atau lebih dari 15% limfosit (anak-anak dibawah usia 6 tahun) (Eibl and Wolf, 2015).
Pasien dengan kanker juga mengalami gangguan sistem imun seperti pasien dengan keganasan hematologi yaitu multiple myeloma, chronic lymphocytic leukemia (CLL) dan lymphoma, atau sebagai konsekuensi dari pemberian kemoterapi. Vaksin inaktif untuk melawan influenza, Hib dan infeksi pneumococcal sangat direkomendasikan untuk diberikan pada pasien kanker. Pada pasien kanker, akan lebih baik jika pemberian imunisasi diberikan sejak awal. Jika vaksinasi diberikan sebelum terapi imunosupresif, maka harus diulang 4-6 bulan setelah kemoterapi intensif. Jika tidak memungkinkan untuk dilakukan sebelumnya, maka vaksinasi diberikan setelah kemoterapi dan pemberian dengan dosis yang lebih tinggi diberikan sesuai penyakit individu (rekomendasi IDSA) (Eibl and Wolf, 2015).
Daftar Pustaka
Chinen, J., Shearer, W.T., 2010. Secondary immunodeficiencies, including HIV infection. J. Allergy Clin. Immunol. 125, S195–S203. https://doi.org/10.1016/j.jaci.2009.08.040
Eibl, M.M., Wolf, H.M., 2015. Vaccination in patients with primary immune deficiency, secondary immune deficiency and autoimmunity with immune regulatory abnormalities. Immunotherapy 7, 1273–1292. https://doi.org/10.2217/IMT.15.74
Marciano, B.E., Holland, S.M., 2017. Primary immunodeficiency diseases: Current and emerging therapeutics. Front. Immunol. 8. https://doi.org/10.3389/fimmu.2017.00937
Naik, S., Nicholas, S.K., Martinez, C.A., Leen, A.M., Hanley, P.J., Gottschalk, S.M., Rooney, C.M., Hanson, I.C., Krance, R.A., Shpall, E.J., Cruz, C.R., Amrolia, P., Lucchini, G., Bunin, N., Heimall, J., Klein, O.R., Gennery, A.R., Slatter, M.A., Vickers, M.A., Orange, J.S., Heslop, H.E., Bollard, C.M., Keller, M.D., 2016. Adoptive immunotherapy for primary immunodeficiency disorders with virus-specific T lymphocytes. J. Allergy Clin. Immunol. 137, 1498–1505e1. https://doi.org/10.1016/j.jaci.2015.12.1311
Wood, P., 2012. Immunotherapy for Primary Immunodeficiency Diseases. Med. Clin. North Am. 96, 433–454. https://doi.org/10.1016/j.mcna.2012.04.010