By: dr. Sari Eka Pratiwi
Pada sebagian
besar pasien, terapi farmakologis menjanjikan suatu efikasi pengobatan, namun
dapat juga terjadi kegagalan terapi pada pasien yang lain. Namun sebaliknya,
pada pasien dimana terapi dapat bekerja, seringkali timbul efek samping dari
ringan hingga berat, bahkan dapat menimbulkan kematian. Luasnya variasi dalam
efikasi obat dan keamanannya telah diketahui sejak dimulainya pengobatan
farmakologis pada manusia, namun pemahaman terhadap respon obat ini masih
sangat terbatas. Faktor-faktor yang menyebabkan variasi respon obatpun sangat
luas dan kompleks, sebagian besar melibatkan aspek penting biologi manusia yang
terbagi atas faktor intrinsik seperti usia, jenis kelamin, ras/etnik, genetik,
status penyakit, disfungsi organ, dan perubahan fisiologis lainnya seperti
kehamilan, laktasi dan faktor ekstrinsik seperti rokok dan nutrisi serta
obat-obatan yang diberikan secara bersamaan (Huang et al., 2006; Ma and Lu, 2011).
Variasi genetik
manusia telah dikenal sebagai faktor penentu penting pada variabilitas individu
terhadap respon obat dari pengamatan klinik sejak akhir tahun 1950. Pada kasus
ini, pasien dengan konsentrasi obat didalam plasma atau urin sangat tinggi atau
rendah, diperkirakan berhubungan dengan fenotip spesifik. Sifat biokimiawi yang
menyebabkan variasi konsentrasi obat ini ternyata dapat diwariskan. Penemuan
klinis ini mengawali pemahaman farmakogenetik yang berkontibusi secara spesifik
terhadap variabilitas individu pada terapi obat-obatan (Ma and Lu, 2011).
Efikasi dan reaksi
obat yang merugikan tergantung pada dosis obat dan menentukan luaran klinis
dari pengobatan. Dosis obat yang lebih tinggi akan meningkatkan efek terapetik
tapi secara simultan juga meningkatkan kecenderungan timbulnya efek samping
baru yang tidak terduga. Dosis obat yang berada diantara efek terapetik dan
reaksi yang merugikan, disebut dengan therapeutic
window. Dosis obat yang berada pada therapeutic
window untuk sebagian pasien bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi untuk
sebagian pasien lainnya yang memiliki kurva respon obat atipikal untuk sebuah
efek obat, toksisitas atau keduanya, sehingga menghasilkan luaran yang tidak
terduga bagi pasien. Pada umumnya, variabilitas individual memiliki dampak pada
obat dengan therapeutic window yang
sempit dibandingkan yang lebar.
Sebagai contohnya warfarin yang merupakan suatu antikoagulan memiliki rentang
terapetik yang sempit, dan memiliki efek samping yang sangat membahayakan (Ma and Lu, 2011).
Faktor genetik dan
non-genetik mempengaruhi variabilitas individu terhadap respon obat dengan
memodulasi kurva respon obat dari efikasi obat dan toksisitas obat pada pasien.
Faktor genetik umumnya menyebabkan perubahan permanen dalam fungsi protein,
dimana faktor lingkungan dan fisiologis memiliki dampak yang bersifat sementara
pada respon obat. Polimorfisme genetik suatu protein yang terlibat dalam target
obat (farmakodinamik) dan metabolisme serta transport obat (farmakokinetik)
merupakan faktor terpenting dalam variabilitas individu terhadap efikasi
pengobatan. Variasi pada farmakokinetik suatu obat dapat merubah konsentrasi
obat yang bersifat toksik atau metabolit didalam jaringan target yang
menyebabkan toksisitas. Sebagian variasi genetik juga mempengaruhi efikasi obat
dan tingkat keamanan obat secara tidak langsung dengan memodulasi fungsi
biologis dimana reaksi obat terjadi (Ma and Lu, 2011).
Pada level
molekular, variasi genetik dapat merubah struktur dari protein target melalui
mutasi pada coding region suatu gen atau modulasi regulator
gen dengan mengatur jumlah ekspresi protein, kedua proses ini dapat merubah fungsi
protein atau kecepatan dan kinetik sebuah enzim. Mutasi juga dapat memodulasi
ekspresi gen melalui jalur pengaturan epigenetik. Perubahan struktural reseptor
atau enzim berpengaruh pada reseptor obat atau interaksi enzim-obat dan
akhirnya berpengaruh pada respon terhadap obat. Polimorfisme genetik pada enzim
pemetabolisme obat, transporter obat, serta enzim yang terlibat dalam
biosintesis dan repair DNA, dapat pula mempengaruhi absorbsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi obat, sehingga akan memodulasi konsentrasi obat
didalam plasma dan jaringan target (Ma and Lu, 2011; Shastry, 2006).
Contoh pengaruh
genetik terhadap respon obat adalah adanya variasi gen tunggal (monogenik),
misalnya polimorfisme gen tunggal yang mengkode sebuah enzim pemetabolisme obat
yang bertanggungjawab untuk metabolisme dan disposisi substrat, dapat
menyebabkan respon menyimpang terhadap suatu obat. Terdapat tiga tipe sebaran
fenotip yang berkaitan dengan respon obat yaitu bimodal, multimodal atau luas
tanpa sebuah antimoda yang jelas. Asetilasi isoniazid menggambarkan sebuah
sebaran bimodal monogenik pada individu yang dibedakan menjadi asetilator cepat
atau lambat, dihubungkan dengan tipe gen NAT2. 4-hydroxylation debrisoquine oleh CYP2D6 mengikuti pola distribusi
monogenik multimodal yang mencakup poor
metabolizers (PM) pada individu dengan CYP2D6 inaktif, ultrarapid metabolizers (UM) pada individu yang memiliki
penggandaan multiple CYP2D6, dan extensive
metabolizers (EM) pada individu yang memiliki kecepatan metabolisme normal (Ma and Lu, 2011).
Terdapat sebanyak
57 gen CYP dan diantaranya terdapat tiga famili gen yaitu CYP1, CYP2 dan CYP 3
yang berkontribusi pada metabolisme oksidatif berbagai obat. Polimorfisme enzim
pemetabolisme obat contohnya CYP2D6 berpengaruh pada metabolisme beberapa obat,
salah satunya adalah tamoksifen. Selama lebih dari 30 tahun, tamoxifen rutin
digunakan sebagai agen terapeutik untuk kanker payudara. Adanya variasi alelik
pada gen pengkode sitokrom P450 (CYP2D6) merupakan elemen penting pada
aktivitas dan toksisitas tamoksifen itu sendiri. Enzim CYP2D6 terlibat dalam
sintesis metabolit aktif tamoksifen, yang memiliki 100 kali afinitas yang kuat
terhadap reseptor estrogen dibandingkan obat lainnya. Adanya polimorfisme pada gen
CYP2D6 secara signifikan akan menurunkan kecepatan metabolisme obat hingga 50% (Chaudhary et al., 2015; Shastry, 2006).
Selain
variabilitas genetik pada enzim pemetabolisme, variabilitas genetik pada
transporter juga memegang perang penting dalam respon terhadap obat. Sebagai
salah satu contoh adalah variabilitas genetic pada transporter obat berperan
dalam resistensi sel kanker terhadap agen antikanker. Polimorfisme pada gen ABC-binding cassette (ABC) dapat
berpengaruh pad afungsi dan ekspresi protein. Hal ini juga dapat menyebabkan
efek samping yang diinduksi oleh obat dan efikasi pengobatan menjadi terganggu.
Salah satu contoh yang telah ditemukan adalah pasien tertentu yang mengalami
penurunan metabolisme metotreksat mengalami overdosis metotreksat serius dan
terjadi nefrotoksisitas. Hal ini berkaitan dengan adanya mutasi heterozigot
(R412G) pada asam amino arginine gen ABCC2, yang mengkode human multidrug resistant protein-2 (MRP2). Regio mutasi ini
berhubungan dengan afinitas substrat dan protein mutan tersebut menurunkan
kecepatan eliminasi metotreksat (Shastry, 2006).
Daftar
Pustaka
Chaudhary,
R., Singh, B., Kumar, M., Gakhar, S.K., Saini, A.K., Parmar, V.S., Chhillar,
A.K., 2015. Role of single nucleotide polymorphisms in pharmacogenomics and
their association with human diseases. Drug Metab. Rev. 0, 1–10.
https://doi.org/10.3109/03602532.2015.1047027
Huang, S., Goodsaid, F., Rahman, A., Frueh, F., Lesko, L.J.,
2006. Application of Pharmacogenomics in Clinical Pharmacology 89–99.
https://doi.org/10.1080/15376520600558333
Ma, Q., Lu, A.Y.H., 2011. Individualized Medicine.
https://doi.org/10.1124/pr.110.003533
Shastry, B.S., 2006. Pharmacogenetics and the concept of
individualized medicine 16–21. https://doi.org/10.1038/sj.tpj.6500338