Tuesday, September 25, 2018

Prinsip Dasar Farmakogenetik dan Farmakogenomik



By: dr. Sari Eka Pratiwi


Pada sebagian besar pasien, terapi farmakologis menjanjikan suatu efikasi pengobatan, namun dapat juga terjadi kegagalan terapi pada pasien yang lain. Namun sebaliknya, pada pasien dimana terapi dapat bekerja, seringkali timbul efek samping dari ringan hingga berat, bahkan dapat menimbulkan kematian. Luasnya variasi dalam efikasi obat dan keamanannya telah diketahui sejak dimulainya pengobatan farmakologis pada manusia, namun pemahaman terhadap respon obat ini masih sangat terbatas. Faktor-faktor yang menyebabkan variasi respon obatpun sangat luas dan kompleks, sebagian besar melibatkan aspek penting biologi manusia yang terbagi atas faktor intrinsik seperti usia, jenis kelamin, ras/etnik, genetik, status penyakit, disfungsi organ, dan perubahan fisiologis lainnya seperti kehamilan, laktasi dan faktor ekstrinsik seperti rokok dan nutrisi serta obat-obatan yang diberikan secara bersamaan (Huang et al., 2006; Ma and Lu, 2011).

Variasi genetik manusia telah dikenal sebagai faktor penentu penting pada variabilitas individu terhadap respon obat dari pengamatan klinik sejak akhir tahun 1950. Pada kasus ini, pasien dengan konsentrasi obat didalam plasma atau urin sangat tinggi atau rendah, diperkirakan berhubungan dengan fenotip spesifik. Sifat biokimiawi yang menyebabkan variasi konsentrasi obat ini ternyata dapat diwariskan. Penemuan klinis ini mengawali pemahaman farmakogenetik yang berkontibusi secara spesifik terhadap variabilitas individu pada terapi obat-obatan (Ma and Lu, 2011).

Efikasi dan reaksi obat yang merugikan tergantung pada dosis obat dan menentukan luaran klinis dari pengobatan. Dosis obat yang lebih tinggi akan meningkatkan efek terapetik tapi secara simultan juga meningkatkan kecenderungan timbulnya efek samping baru yang tidak terduga. Dosis obat yang berada diantara efek terapetik dan reaksi yang merugikan, disebut dengan therapeutic window. Dosis obat yang berada pada therapeutic window untuk sebagian pasien bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi untuk sebagian pasien lainnya yang memiliki kurva respon obat atipikal untuk sebuah efek obat, toksisitas atau keduanya, sehingga menghasilkan luaran yang tidak terduga bagi pasien. Pada umumnya, variabilitas individual memiliki dampak pada obat dengan therapeutic window yang sempit dibandingkan yang lebar. Sebagai contohnya warfarin yang merupakan suatu antikoagulan memiliki rentang terapetik yang sempit, dan memiliki efek samping yang sangat membahayakan (Ma and Lu, 2011).

Faktor genetik dan non-genetik mempengaruhi variabilitas individu terhadap respon obat dengan memodulasi kurva respon obat dari efikasi obat dan toksisitas obat pada pasien. Faktor genetik umumnya menyebabkan perubahan permanen dalam fungsi protein, dimana faktor lingkungan dan fisiologis memiliki dampak yang bersifat sementara pada respon obat. Polimorfisme genetik suatu protein yang terlibat dalam target obat (farmakodinamik) dan metabolisme serta transport obat (farmakokinetik) merupakan faktor terpenting dalam variabilitas individu terhadap efikasi pengobatan. Variasi pada farmakokinetik suatu obat dapat merubah konsentrasi obat yang bersifat toksik atau metabolit didalam jaringan target yang menyebabkan toksisitas. Sebagian variasi genetik juga mempengaruhi efikasi obat dan tingkat keamanan obat secara tidak langsung dengan memodulasi fungsi biologis dimana reaksi obat terjadi (Ma and Lu, 2011)

Pada level molekular, variasi genetik dapat merubah struktur dari protein target melalui mutasi pada coding region suatu gen atau modulasi regulator gen dengan mengatur jumlah ekspresi protein, kedua proses ini dapat merubah fungsi protein atau kecepatan dan kinetik sebuah enzim. Mutasi juga dapat memodulasi ekspresi gen melalui jalur pengaturan epigenetik. Perubahan struktural reseptor atau enzim berpengaruh pada reseptor obat atau interaksi enzim-obat dan akhirnya berpengaruh pada respon terhadap obat. Polimorfisme genetik pada enzim pemetabolisme obat, transporter obat, serta enzim yang terlibat dalam biosintesis dan repair DNA, dapat pula mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat, sehingga akan memodulasi konsentrasi obat didalam plasma dan jaringan target (Ma and Lu, 2011; Shastry, 2006).

Contoh pengaruh genetik terhadap respon obat adalah adanya variasi gen tunggal (monogenik), misalnya polimorfisme gen tunggal yang mengkode sebuah enzim pemetabolisme obat yang bertanggungjawab untuk metabolisme dan disposisi substrat, dapat menyebabkan respon menyimpang terhadap suatu obat. Terdapat tiga tipe sebaran fenotip yang berkaitan dengan respon obat yaitu bimodal, multimodal atau luas tanpa sebuah antimoda yang jelas. Asetilasi isoniazid menggambarkan sebuah sebaran bimodal monogenik pada individu yang dibedakan menjadi asetilator cepat atau lambat, dihubungkan dengan tipe gen NAT2. 4-hydroxylation debrisoquine oleh CYP2D6 mengikuti pola distribusi monogenik multimodal yang mencakup poor metabolizers (PM) pada individu dengan CYP2D6 inaktif, ultrarapid metabolizers (UM) pada individu yang memiliki penggandaan multiple CYP2D6, dan extensive metabolizers (EM) pada individu yang memiliki kecepatan metabolisme normal (Ma and Lu, 2011).

Terdapat sebanyak 57 gen CYP dan diantaranya terdapat tiga famili gen yaitu CYP1, CYP2 dan CYP 3 yang berkontribusi pada metabolisme oksidatif berbagai obat. Polimorfisme enzim pemetabolisme obat contohnya CYP2D6 berpengaruh pada metabolisme beberapa obat, salah satunya adalah tamoksifen. Selama lebih dari 30 tahun, tamoxifen rutin digunakan sebagai agen terapeutik untuk kanker payudara. Adanya variasi alelik pada gen pengkode sitokrom P450 (CYP2D6) merupakan elemen penting pada aktivitas dan toksisitas tamoksifen itu sendiri. Enzim CYP2D6 terlibat dalam sintesis metabolit aktif tamoksifen, yang memiliki 100 kali afinitas yang kuat terhadap reseptor estrogen dibandingkan obat lainnya. Adanya polimorfisme pada gen CYP2D6 secara signifikan akan menurunkan kecepatan metabolisme obat hingga 50% (Chaudhary et al., 2015; Shastry, 2006)

Selain variabilitas genetik pada enzim pemetabolisme, variabilitas genetik pada transporter juga memegang perang penting dalam respon terhadap obat. Sebagai salah satu contoh adalah variabilitas genetic pada transporter obat berperan dalam resistensi sel kanker terhadap agen antikanker. Polimorfisme pada gen ABC-binding cassette (ABC) dapat berpengaruh pad afungsi dan ekspresi protein. Hal ini juga dapat menyebabkan efek samping yang diinduksi oleh obat dan efikasi pengobatan menjadi terganggu. Salah satu contoh yang telah ditemukan adalah pasien tertentu yang mengalami penurunan metabolisme metotreksat mengalami overdosis metotreksat serius dan terjadi nefrotoksisitas. Hal ini berkaitan dengan adanya mutasi heterozigot (R412G) pada asam amino arginine gen ABCC2, yang mengkode human multidrug resistant protein-2 (MRP2). Regio mutasi ini berhubungan dengan afinitas substrat dan protein mutan tersebut menurunkan kecepatan eliminasi metotreksat (Shastry, 2006).


Daftar Pustaka
Chaudhary, R., Singh, B., Kumar, M., Gakhar, S.K., Saini, A.K., Parmar, V.S., Chhillar, A.K., 2015. Role of single nucleotide polymorphisms in pharmacogenomics and their association with human diseases. Drug Metab. Rev. 0, 1–10. https://doi.org/10.3109/03602532.2015.1047027
Huang, S., Goodsaid, F., Rahman, A., Frueh, F., Lesko, L.J., 2006. Application of Pharmacogenomics in Clinical Pharmacology 89–99. https://doi.org/10.1080/15376520600558333
Ma, Q., Lu, A.Y.H., 2011. Individualized Medicine. https://doi.org/10.1124/pr.110.003533
Shastry, B.S., 2006. Pharmacogenetics and the concept of individualized medicine 16–21. https://doi.org/10.1038/sj.tpj.6500338